Ngapain Belajar Agama Kalau Malah Bikin Drama?

Kamu pernah mikir nggak, kenapa pelajaran agama yang katanya ngajarin kebaikan, justru kadang malah jadi sumber perpecahan?
Pernah ngerasa belajar agama tapi malah makin sempit cara pandangnya?
Tenang, kamu nggak sendiri.

Di Indonesia, kita hidup dalam pelangi budaya dan keyakinan. Ada beragam agama, suku, adat, dan bahasa. Tapi herannya, kita masih suka berantem cuma gara-gara beda cara ibadah atau beda pilihan hidup. Pertanyaannya: salah siapa, sih? Agamanya? Gurunya? Sistem pendidikannya? Atau… cara kita memahami semuanya?

Pancasila: Bukan Cuma Hafalan, Tapi Pegangan

Pernah nggak, waktu upacara kamu nyebut “Ketuhanan yang Maha Esa”, tapi setelah itu ngomel-ngomel karena temenmu beda keyakinan?
Yuk, jujur.

Padahal, para pendiri bangsa—terutama Bung Karno—nggak asal nyusun Pancasila. Lima sila itu lahir dari perenungan mendalam tentang jati diri bangsa kita yang plural banget. Pancasila itu bukan agama, tapi ia menghormati agama. Ia bukan kitab suci, tapi punya nilai suci.

Bayangin kalau pendidikan agama di sekolah benar-benar pakai semangat Pancasila.
Kita belajar agama bukan buat ngerasa paling benar, tapi buat ngerti bahwa setiap orang punya jalannya sendiri dalam mencari makna hidup. Dan itu sah-sah aja.

Belajar Agama = Belajar Jadi Manusia

Masalahnya, selama ini kita sering diajarin agama kayak belajar rumus matematika. Hafalan ayat ✔️, jawaban pilihan ganda ✔️, nilai 100 ✔️—tapi pas ngeliat orang beda dikit, langsung ngegas.

Kita lupa, esensi agama itu bukan buat dipamerin, tapi buat dijalanin.
Bukan buat ngukur siapa paling suci, tapi buat ngajarin kita jadi manusia seutuhnya: jujur, peka, adil, rendah hati.

Pendidikan agama yang ber-Pancasila itu ngajak kita buka mata, buka telinga, dan terutama buka hati.

Toleransi Bukan Berarti Setuju, Tapi Menghargai

Toleransi itu bukan soal siapa yang paling mengalah, tapi siapa yang paling menghargai.
Gue boleh salat lima waktu, lo boleh ke vihara, dia boleh ke gereja, dan mereka boleh sembahyang di pura—semuanya sama-sama sedang mencari kedamaian, cuma jalannya beda.

Pancasila ngajarin kita untuk berdampingan, bukan untuk seragam.
Dan di tengah era digital sekarang, ketika semua orang bebas bersuara, kita butuh pendidikan agama yang ngajarin literasi rasa, bukan cuma literasi kitab.

Yuk, Jadi Agamawan yang Merangkul, Bukan Menghakimi

Kalau kamu lagi belajar agama tapi ngerasa makin jauh dari orang lain yang berbeda, mungkin bukan agamanya yang salah, tapi caramu mengartikannya.

Bayangin dunia di mana orang belajar agama untuk menenangkan, bukan menyerang.
Bayangin kalau kita semua belajar dari Pancasila, dan menjadikan keberagaman itu kekayaan, bukan ancaman.

So, yuk mulai sekarang belajar agama dengan hati, bukan hanya dengan kepala.
Karena di ujung hari, yang diukur bukan seberapa sering kamu ikut upacara keagamaan, tapi seberapa kamu bikin orang lain merasa aman dan dihargai.

Ditulis dengan penuh cinta,
Buat kamu yang ingin beragama dengan damai dan manusiawi.

Artikel ini diadaptasi dari:
Dewantara, Agustinus Wisnu. (2015). Pancasila sebagai Pondasi Pendidikan Agama di Indonesia. Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume V, No. 1, Januari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

 

 / 

Sign in

Send Message

My favorites