
Sumber: refleksi pribadi & keprihatinan akut
Aku pernah dengar satu kalimat dari seorang teman yang masih terus terngiang sampai sekarang: “Kekerasan seksual itu bukan cuma luka fisik, tapi juga trauma yang seringkali lebih menyakitkan dari apa pun.” Dan parahnya lagi, bukan cuma pelakunya yang bikin luka itu makin dalam, tapi juga respons orang-orang sekitar—yang harusnya jadi tempat paling aman.
Hari gini, masih ada aja yang nyalahin korban. “Ngapain sih ngelapor, nanti keluarga malu.” “Itu kan ustadz, masa iya?” “Udahlah diem aja, nanti kualat.” MAKSUDNYA APA?
Kenapa kita lebih takut pada citra pelaku daripada luka korban? Kenapa label “malu” dan “kualat” lebih penting daripada keadilan?

Kekerasan Seksual Bisa Terjadi Dimana Saja—Termasuk Tempat yang Katanya Suci
Baru-baru ini aku baca berita tentang kekerasan seksual yang terjadi di sebuah pondok pesantren. Gila, bukan cuma satu korban, tapi puluhan. Dan yang lebih bikin panas hati? Banyak yang tahu, tapi diam. Banyak yang bisik-bisik, tapi gak satu pun bergerak.
Pelakunya? Pengasuh. Pengajar. Orang yang dianggap tokoh. Tapi buatku, status sosial, gelar agama, jabatan—itu semua gak bisa jadi tameng buat kejahatan. Pelaku ya pelaku. Mau dia guru, kyai, pejabat, atau siapa pun, kalau melakukan kekerasan seksual, ya harus dihukum. Titik.
Kenapa Korban Harus Berani Bicara?
Karena kalau semua korban diam, pelaku merasa aman. Dan saat pelaku merasa aman, dia akan terus mengulangi kejahatannya, ke korban berikutnya. Mungkin teman kamu. Mungkin adik kamu. Atau anak kamu nanti.
Aku ngerti kok, berani bicara itu nggak mudah. Ada rasa takut, malu, ngerasa nggak akan dipercaya, atau malah takut disalahin. Tapi kamu harus tahu: kamu nggak salah. Kamu bukan masalah. Kamu bukan aib.
Dan kamu nggak sendiri.
Setiap kali kamu bersuara, itu bukan cuma buat dirimu. Itu bisa menyelamatkan banyak nyawa lain dari luka yang sama.
Untuk Orang Tua & Keluarga: Tolong, Jangan Jadi Pembungkam
Ini bagian yang paling bikin aku pengen teriak.
Banyak korban kekerasan seksual justru dibungkam keluarganya sendiri. Bukan karena gak percaya, tapi karena takut malu. Takut “mengotori nama baik keluarga”. Lah, justru diam itu yang bikin makin kotor!
Kalau kamu punya anak, saudara, keponakan, dan mereka berani cerita, peluk mereka. Dukung mereka. Dampingi mereka buat cari keadilan. Jangan malah bilang, “Kamu sih, pakaiannya…” atau “Kamu jangan cari masalah.” Mereka sudah cukup sakit. Jangan kamu tambahin.
Edukasi Seksualitas: Harus Dimulai dari Rumah, Bukan dari Pelaku Berkedok Guru
Kita terlalu sering ngandelin sekolah buat ngajarin soal tubuh, batasan, dan seksualitas. Padahal, pendidikan soal ini harus dimulai dari rumah. Sebelum anak masuk sekolah, mereka harus tahu: tubuh mereka berharga, dan gak ada satu orang pun yang boleh menyentuhnya tanpa izin.
Anak-anak harus tahu logika dasar tentang consent, tentang “ini tidak boleh”, dan “kalau ini terjadi, segera bilang ke orang dewasa yang dipercaya.”
Dan tolong ya, stop anggap kata “seks” sebagai tabu di rumah. Semakin kita bungkam soal ini, semakin mudah predator masuk dengan dalih-dalih manipulatif kayak “ini bagian dari ujian”, “kamu istimewa”, atau “jangan bilang siapa-siapa, ini rahasia kita”.
Penutup: Jangan Lagi Bantu Pelaku dengan Diam
Kalau kamu pernah jadi korban, aku tahu keberanianmu bicara itu luar biasa. Dan kamu layak dapat keadilan, bukan penghakiman.
Kalau kamu orang tua atau kerabat korban, kamu punya peran penting untuk melindungi, bukan membungkam.
Dan kalau kamu bagian masyarakat yang selama ini cuma nonton dan gak bersuara, sekarang saatnya berubah.
Kekerasan seksual bukan aib korban. Kekerasan seksual bukan karma.
Kekerasan seksual adalah kejahatan. Dan pelakunya harus dihukum.
Kalau kamu merasa artikel ini penting, bagikan. Biar lebih banyak orang sadar, lebih banyak korban berani bicara, dan lebih banyak pelaku akhirnya benar-benar menerima akibatnya.
Kita bukan bangsa yang lemah. Tapi selama kita diam, kita membiarkan kejahatan menang.