
Kalau diingat-ingat, hubungan itu sebenarnya kayak mimpi indah yang perlahan berubah jadi mimpi buruk. Awalnya sih dia terlihat sempurna. Perhatian banget, selalu ada, dan bikin aku merasa seperti satu-satunya orang yang penting. Tapi ya, ternyata nggak semua yang bersinar itu emas.
Awalnya aku nggak sadar kalau dia narsistik. Aku cuma pikir, mungkin dia orang yang percaya diri banget. Tapi lama-lama, ada yang aneh. Kebohongan kecil yang nggak perlu, kritik yang dibungkus candaan, dan rasanya aku selalu harus membuktikan diri biar bisa diterima. Semakin lama, semakin jelas ada yang salah.
Apa Itu Narsistik?
Narsistik itu bukan sekadar orang yang suka dipuji atau pede banget. Ini lebih ke gangguan kepribadian, namanya Narcissistic Personality Disorder (NPD). Orang narsistik butuh banget perhatian, pujian, dan kekaguman. Mereka nggak peduli sama perasaan orang lain, dan empati? Nggak ada dalam kamus mereka.
Menurut Mayo Clinic, ciri-ciri orang narsistik itu antara lain:
- Merasa dirinya paling hebat dan pengen diperlakukan istimewa.
- Suka manipulasi, memanfaatkan orang lain buat kepentingannya sendiri.
- Nggak punya empati, jadi kalau kamu sakit hati, mereka nggak peduli.
Mereka Berbohong Seperti Bernapas
Salah satu hal yang bikin aku benar-benar sadar adalah kebohongannya. Bukan kebohongan besar, tapi yang kecil-kecil, yang seharusnya nggak perlu ada. Hal-hal sederhana seperti janji yang nggak ditepati, cerita yang berubah-ubah, bahkan hal-hal sepele yang sebenarnya nggak harus bohong.
Dan yang bikin aku terkejut, berbohong buat mereka itu seperti bernapas—alami dan effortless. Menurut Psychology Today, narsistik sering berbohong untuk mempertahankan citra sempurna mereka. Bohong bisa jadi alat untuk mengontrol orang lain atau membuat dirinya terlihat lebih baik. Aku pernah tanya soal sesuatu yang dia bilang sebelumnya, dan dia jawab dengan santai, “Aku nggak pernah ngomong kayak gitu,” seolah aku yang salah ingat.
Gaslighting? Oh, itu udah jadi makanan sehari-hari. Pernah dia bilang sesuatu, terus besoknya dia menyangkal kalau pernah bilang itu. Aku jadi ragu sama diriku sendiri. Pernah nggak sih, kamu merasa kayaknya kamu yang salah ingat? Padahal, kamu inget jelas tapi dia ngegas kalau itu nggak pernah terjadi. Itu trik mereka buat bikin kita bingung.
Ketika Kenyataan Mulai Terasa
Ada satu momen yang bikin aku sadar. Aku pernah ngungkapin perasaanku, merasa nggak dihargai, dan responsnya malah nyalahin aku. Katanya, aku “terlalu sensitif” dan “drama.” Padahal, aku cuma butuh didengar. Tapi ya begitulah narsistik, mereka jago bikin kita merasa semua salah ada di kita.
Cara Aku Keluar dari Hubungan Itu
Meninggalkan hubungan ini nggak gampang. Tapi aku sadar, aku harus pergi kalau mau selamat. Pelajaran yang aku dapet:
- Pahami pola manipulasi mereka. Jangan sampai kebawa.
- Batasi komunikasi. Kalau udah nggak sehat, nggak usah berusaha baik-baik lagi.
- Cari dukungan. Teman dan keluarga itu penyelamat banget.
Setelah aku keluar, rasanya seperti bisa bernapas lagi. Aku belajar buat menghargai diri sendiri dan sadar kalau aku layak dapat cinta yang beneran tulus, bukan sekadar manipulasi.
Pelajaran yang Berharga
Dari pengalaman ini, aku paham satu hal: cinta yang sehat itu nggak bikin kita merasa kecil. Kalau kamu lagi ada di hubungan yang bikin kamu merasa terus-terusan salah atau nggak cukup, mungkin saatnya kamu bertanya, “Apakah ini benar-benar cinta?”
Jadi, gimana? Apakah kamu juga pernah terjebak di hubungan seperti ini?